Kamis, 07 Februari 2013

FREEDOM BUKAN PERGAULAN BEBAS


FREEDOM BUKAN PERGAULAN BEBAS
Oleh: Iffadhiya Fathin Adiba
            Duduk sendiri di sofa dengan televisi yang padam di malam Minggu. Malam ini begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Ayah dan ibu pergi ke rumah nenek karena harus merawat nenek yang sakit, sedangkan kakak laki-lakiku sudah tidur. Biasanya ia masih terjaga jam segini. Duduk manis di sampingku sambil menonton televisi. Tapi mungkin karena jadwal kuliahnya yang terlalu padat, akhirnya dia kelelahan dan sekarang sudah terlelap. Padahal ini masih pukul 8. Apa yang harus kulakukan untuk mengusir rasa sepi ini?
Ah ya! Kutelpon Chandra saja. Kuraih hand phone putihku dan kutekan tombol 4, agak lama. Lalu kutempelkan telingaku pada layarnya. Nada sambungnya ada. Namun entah mengapa tak terdengar suara Chandra. Sejurus kemudian sambungan terputus! Kucoba lagi berkali-kali sampai akhirnya akupun bosan. Kuhempaskan alat komunikasi itu di atas sofa yang kududuki. Sepi…kesal… Akhirnya kunyalakan televise di hadapanku lalu mencari channel yang menarik. Tidak ada! Ah! Mungkin lebih baik aku keluar sebentar, mencari udara segar. Kuambil jaketku yang menggantung di balik pintu kamarku, lalu kukenakan topi. Kuraih gagang pintu lalu membukanya. Wush… Angin menerpa tubuhku. Walau telah mengenakan jaket, tapi udara dingin masih sangat terasa di setiap tulang rusukku. Kunikmati saja walau sebenarnya sakit. Aku terus menyusuri jalan malam yang sepi ini. Aku tinggal di perumahan. Jadi untuk mencapai keramaian, aku harus keluar dari gapura yang bertuliskan “Perumahan Citra Garden” itu. Untung rumahku tak seberapa jauh dari sana. Jadi, sebentar saja keramaian sudah menyambutku. Jujur saja, aku sangat jarang sekali berada di keramaian, karena hiruk pikuknya sangat menggangguku. Tapi malam ini saja, aku ingin menjadi bagian dari hiruk pikuk itu. Ya, menjadi bagian darinya!
Di dekat perumahanku ada sebuah klub malam. Orangtua dan kakak laki-lakiku selalu melarangku masuk ke sana. Ketika kutanya mengapa, mereka hanya mengatakan bahwa tempat itu terlalu ramai dan liar. Tapi Chandra pernah mengajakku masuk ke sana, walaupun saat itu aku menolaknya. Ia tidak memaksa, hanya mengatakan, “baiklah… Kita masuk ke sana kalau kau sudah siap saja”. Aku tidak tahu harus menuruti yang mana. Keluargaku atau Chandra? Keduanya adalah orang-orang yang sangat kucintai. Keluargaku, orang-orang yang selalu mengerti aku selama 15 tahun ini, sedangkan Chandra adalah pacarku… Hmm… Mungkin tak apa jika sekali saja aku masuk ke sana. Hanya untuk mengetahui bagaimana di dalamnya. Ya, sekedar tahu saja. Aku akan masuk…
Sekarang aku sudah ada di dalam tempat yang membuatku penasaran itu. Keluargaku benar, tempat ini sangat ramai! Persis seperti apa yang kubutuhkan saat ini. Senyum tertoreh di bibirku, aku senang sekali! Kemudian aku duduk di sebuah kursi dengan satu meja dan dua kursi lainnya yang masih kosong. Aku hanya melihat orang-orang yang sedang menari-nari, penuh kebebasan. Uh… Aku baru ingat, dari tadi aku belum minum air sedikitpun. Sekarang aku haus sekali. Lalu aku beralih ke kursi lainnya di pojok dan di hadapanku terpapar banyak sekali jenis minuman yang berbeda. Namun anehnya dari semua minuman itu, aku hanya mengetahui dua saja dan itu adalah minuman keras. Namun entah datang dorongan dari mana, aku malah memesan salah satu di antaranya. Seorang pemuda di balik meja itu dengan segera memberikan minuman yang  kupesan barusan. Langsung kuteguk minuman itu sampai habis karena sangat haus. Rasanya sangat aneh namun aku senang. Akhirnya kupesan satu gelas lagi. Lalu tiba-tiba saja, kepalaku mendadak pusing. Melihat gelagatku, pemuda tadi cemas lalu menggiringku kembali ke tempat dudukku yang semula karena tidak begitu dekat dengan keramaian, kemudian ia bertanya,”apa yang terjadi? Kamu sakit?”, tanyanya begitu lembut. Aku bilang aku hanya sedikit pusing. Lalu dia berkata akan mengantarku pulang. Aku menurut saja karena ternyata dompetku ketinggalan. Masalah minuman, pemuda itu akan membayarkannya untukku. Sebelumnya dia izin pada atasannya, lalu dengan sepeda motor birunya, memboncengku di belakangnya. Kutunjukkan arah ke rumahku. Sampai di depan rumahku, aku berterimakasih kepadanya. Sebelum pergi, ia meminta nomor hand phoneku. Lalu setelah itu, ia berlalu.
Aku sangat terkejut ketika kulihat jam di tanganku sudah menunjuk ke angka 12. Padahal rasanya aku hanya berkeliling sebentar saja tadi. Dengan cepat kubuka pintu rumah dan semakin terkejut mendapati kakak laki-lakiku duduk berhadapan dengan orangtuaku di ruang tamu, kemudian mereka semua menatapku. Ibu yang pertama kali angkat bicara,”Rana, kamu dari mana saja, nak? Kenapa lemes gitu?”, Tanya ibu penuh kekhawatiran sambil menuntunku duduk dengan mereka. Aku mencoba menghindar karena takut mereka mencium bau alcohol dari mulutku. Tapi terlambat! Ayahku dapat mengendus bau itu dan,”Rana, ini bau alkohol! Kamu mabuk ya?”, bentak ayahku saking kagetnya. Aku hanya bisa diam dan mulai menangis. Ayahku terus menanyaiku dan aku masih diam dan menangis. Akhirnya ibu melerai dengan membawaku ke kamar dan memintaku untuk istirahat. Ya, aku sangat lelah dan aku ingin istirahat.
Keesokan harinya aku terbangun pukul 11 pagi. Kepalaku masih pusing. Untung ini hari Minggu dan seperti kebanyakan sekolah lainnya, sekolahkupun libur. Biasanya pukul 6, ibu, ayah, atau kakak laki-lakiku akan membangunkanku. Tapi entah mengapa pagi ini tidak demikian. Kemuadian aku bangkit dan keluar kamarku. Sepi dan hening. Kupanggil-panggil keluargaku namun tak ada jawaban. Kucek satu per satu ruangan di rumahku tapi ternyata nihil. Huh… Seperti ini lagi! Aku benci! Mengapa dua hari ini keluargaku seakan menjauh dariku. Mereka tak peduli lagi padaku! Tiba-tiba… Suara merdu Taylor Swift di lagunya yang berjudul White Horse mengejutkanku. Itu artinya, seseorang menelponku. Pasti itu Chandra! Waktu kuangkat ternyata bukan Chandra. Beberapa saat kemudian aku tahu bahwa itu adalah pemuda yang mengantarku pulang dari klub malam, tadi malam. Ternyata namanya Govin. Ia hanya ingin memastikan nomorku dan bertanya keadaanku. Entah mengapa aku merasa senang mendengar cerita-cerita lucu darinya. Sepertinya dia orang yang baik. Oh ya! Govin mengajakku pergi malam ini, tapi tidak ke klub malam lagi! Aku kapok! Ia mengajakku makan di restoran temannya. Wow! Seperti kencan dong! Tapi bagaimana dengan Chandra? Ah… Antara aku dan Govin kan tak ada apa-apa. Jadi, tak masalah.
Malam ini aku baru pulang pukul 12. Aku jalan-jalan bersama Govin. Rasanya seru sekali. Ia mengajakku bertemu teman-temannya. Memang wajah mereka menyeramkan, tapi mereka baik terhadapku. Tapi sebagai konsekuensinya, aku dimarahi lagi oleh ayahku. Tidak hanya itu, ibu dan kakak laki-lakiku ikutan memarahiku. “Rana, kamu ini perempuan! Bisa-bisanya main sama laki-laki sampe’ jam segini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?”, omel kakak laki-lakiku dengan dengan emosi penuh. “Govin orangnya baik kok, kak! Rana bisa jaga diri Rana. Lagian ayah, ibu, kakak pergi-pergi terus. Nah, kenapa Rana nggak boleh??? Rana ingin freedomnya Rana. Kebebasan buat Rana!”, aku melontarkan amarahku melalui kata-kata itu. Aku tahu itu salah, namun aku marah. Akhirnya aku masuk kamar dan menangis. Aku tak tahan lagi! Kuambil hand phone dan dompetku, lalu kutelpon Govin. Kusuruh ia menungguku di samping rumahku sedangkan aku kabur lewat jendela. Jujur saja, aku takut! Tapi bagaimana lagi, aku ingin kebebasanku!
Berhasil! Sekarang aku ada di markasnya Govin cs. Saat sedang bercanda tawa ditemani kartu-kartu dan minuman-minuman yang kemarin kuteguk, tiba-tiba datang seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan sambil berpelukan. Lalu mataku dan laki-laki itu beradu tatap. Hey! Aku seperti mengenalnya. Tunggu…itu kan… “Chandra! Kenapa kau ada di sini? Aku hubungi kau tak menanggapi! Ternyata kamu selingkuh!” aku marah tak terkendali padanya. Lalu secara seksama kupandangi orang-orang di sekelilingku. Sekali lagi, kupandangi mereka dengan lebih seksama. Cetar! Seperti petir menyambar, aku tersadar bahwa aku berada di tempat yang salah dan bersama orang-orang yang salah. Aku sadar bukan kebebasan seperti ini yang kumau! Apa yang kulakukan? Keluargaku pasti kecewa! Aku harus kabur dari sini sekarang! Untung aku berada di depan pintu. Langsung saja kubuka pintu itu dan lari secepat mungkin. Mereka mengejar! Aku terus lari lalu…beruntung! Ada taksi lewat! Langsung kucegat lalu pulang ke rumah. Aku menangis sepanjang perjalanan. Pak supir taksi hanya memperhatikanku dari cermin tengah. Akhirnya aku sampai juga di rumah. Kuketuk pintu, lalu ibu yang membuka. Sambil menangis aku memeluk ibuku. Lalu kuceritakan semuanya. Keluargaku memaafkanku dan menyemangatiku untuk tetap melanjutkan hidup dengan lebih baik dan lebih berhati-hati dalam memilih teman bergaul. Keesokan harinya, kami sekeluarga melaporkan Chandra dan Govin cs ke kantor polisi. Tiga hari kemudian mereka tertangkap karena ternyata mereka menyalahgunakan narkoba. Beruntung aku tak lebih lama berada bersama mereka malam itu kalau tidak, mungkin saja aku seperti mereka saat ini. Sekarang aku mencoba hidup lebih baik dan lebih berhati-hati dalam pergaulan. Aku sadar bahwa kebebasan itu bukan pergaulan bebas tapi bebas mentaati aturan yang berlaku tanpa paksaan. So, jangan menyalahgunakan arti kata freedom!


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar